Laman Jejakkasus.info

Rabu, 10 Juli 2013

Divonis Bebas, Terdakwa Kasus Batu Mangan Akan Tuntut Balik Polisi



Surabaya – Jejak Kasus- Hartono Wandy, Direktur PT Hamparan Alam Nusantara (HAN) akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya karena dinilai tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sumantri SH.

Dengan adanya putusan bebas tersebut, Hartono melalui kuasa hukumnya Pieter Talaway menuntut keadilan dengan meminta aparat penegak hukum yang menyeretnya hingga ke persidangan merehabilitasi nama baiknya.

"Klien kita adalah seorang pengusaha, jadi nama baiknya tercemar dengan pemberitaan media selama ini bahwa dia adalah seorang tersangka," ujar Pieter, Rabu (10/7/2013).

Selama penyidikan polisi lanjut Pieter sudah jelas dibeberkan bahwa kliennya selama menjalankan usahanya di bidang batu mangaan, perijinan yang dipegang dan dikeluarkan oleh Gubernur NTT dianggapnya sudah tidak ada masalah. Namun, entah mengapa, JPU Soemantri SH menjaringnya dengan dakwaan kesatu bahwa terdakwa Hartono Wandy melanggar pasal 161 jo 160 ayat (2) UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau dakwaan kedua melanggar pasal 160 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009.

Dikatakan JPU di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya bahwa 15 Juni 2010 batu mangan milik terdakwa sebanyak 10 kontainer berada di Depo Pelayaran Meratus, Jl Tanjung Tembaga 5-7 Surabaya.

Seterusnya diangkut ke gudang di Jalan Raya Gilang, Sidoarjo. Sepanjang perjalanan dibuntuti oleh polisi dari Resor Tanjung Perak. Ternyata ketika diperiksa, barang angkutan yang mengatasnamakan PT HAN tidak ada IUP (Ijin Usaha Pertambangan)-nya. Sebagai Direktur PT HAN, terdakwa dinilai bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Dalam penyidikan yang menghadirkan saksi ahli Buana Sjahboeddin SH MH dari Dirjen Mineral Batubara Kementrian Energi Sumber Daya Mineral diperoleh beberapa keterangan. Di antaranya bahwa pelaku usaha dalam melakukan kegiatan pengangkutan batu mangaan harus memiliki IUP untuk operasi produksi yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.

"Apabila pelaku usaha menggunakan perpanjangan ijin sementara pengangkutan dan penjualan dari Gubernur NTT atau bukan dari pemberi IUP maka telah melanggar ketentuan pidana dalam pasal 161 UU No. 4 Tahun 2009," kata saksi ahli sambil menambahkan bahwa Gubernur NTT tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan surat ijin tersebut karena WIUP (Wilayah Ijin Usaha Pertambangan) berada di satu wilayah kabupaten.

Keterangan saksi ahli tersebut dijadikan acuan oleh pihak kepolisian untuk memproses perkara pidana tersebut seterusnya dilimpahkan ke kejaksaan dan bergulir di PN Surabaya yang digelar oleh JPU Soemantri SH seperti disebutkan sebelumnya.

Pieter merasa heran dengan dakwaan JPU. Sebab, dalam dakwaan, JPU mengatakan bahwa ijin sementara yang diterbitkan oleh Gubernur NTT tidak sah. Dijelaskan oleh Anggota Dewan Kehormatan Peradi (Persatuan Advokat Indonesia) ini bahwa ijin dari Gubernur NTT tersebut sah.

"Sebuah produk hukum yang diterbitkan oleh Pejabat Negara (Gubernur) sepanjang belum dibatalkan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau dicabut/ditarik oleh penerbitnya, maka produk hukum itu sah dan legitimate," tegas Mantan Ketua AAI Surabaya ini.

Dengan demikian apa yang dilakukan kliennya dengan mengantongi ijin Gubernur NTT tidak bisa dipersalahkan, apalagi terbitnya ijin itu sudah mendapatkan rekomendasi dari Bupati setempat.

Berdasarkan hal-hal tersebut, ditambah dengan pembuktian di persidangan yang kini masih berlangsung, Pieter mempersilakan majelis hakim dalam putusan nantinya bisa mencerminkan rasa keadilan bagi kliennya.
Selengkapnya di www.jejakkasus.info

Tidak ada komentar: